Kamis, 06 Juli 2017

Papan Bimbingan

Papan bimbingan, yaitu suatu papan (semacam papan tulis/whiteboard, dapat jugadari lembaran streoform) yang memuat berbagai informasi maupun pesan tentang layanan bimbingan dan konseling, misalnya informasi tentang perguruan tinggi, informasi tentang penjurusan, dan sebagainya. Berikut adalah beberapa foto proses pembuatan papan bimbingan.





Selasa, 04 Juli 2017

Pohon Harapan (Foto)

Pohon harapan merupakan salah satu contoh dari media objek dalam  bimbingan dan konseling. Media ini digunakan untuk penyampaian materi tentang bimbingan karir.
 
proses pembuatan pohon harapan

Pentingnya Media dalam Proses Bimbingan dan Konseling



Bimbingan dan konseling sekarang ini sering kita temui di berbagai sekolah. Keberadaan bimbingan dan konseling sekarang sudah dianggap bagian yang penting dalam proses pendidikan. Tidak hanya di Sekolah Menengah Pertama ataupun di Sekolah Menengah Atas, bahkan di beberapa Sekolah Dasar pun sudah mulai ada guru bimbingan dan konseling. Makin banyak orang yang sadar akan perlunya bimbingan dan konseling dalam pendidikan menjadi salah satu pendorong berkembangnya bimbingan dan konseling di Indonesia.
Dalam perkembangannya itu masih banyak orang yang memiliki pandangan yang salah tentang bimbingan dan konseling. Mereka masih menganggap guru bimbingan dan konseling sebagai polisi sekolah. Menurut Prayitno danAmti (2013:99) bimbingan memiliki pengertian,
“Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan norma-norma yang berlaku.”[1]
“Konseling menurut Prayitno dan Amti (2013:105)” adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.[2]
Dari penuturan yang diungkapkan oleh Prayitno dan Erman diatas dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh ahli kepada individu yang lain. Akan tetapi dalam prakteknya di sekolah-sekolah sekarang ini, yang menjadi guru bimbingan dan konseling bukanlah  guru dari lulusan program pendidikan bimbingan dan konseling. Melainkan guru dari bidang studi lain yang bukan dari bidang bimbingan dan konseling. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya tujuan bimbingan dan konseling itu sendiri. Guru-guru yang ditugaskan menjadi guru bimbingan dan konseling itu tidak memiliki keahlian menjadi seorang guru bimbingan dan konseling, sehingga mereka tidak menjalankan tugasnya sebagai konselor sekolah dengan benar karena pada dasarnya guru-guru tersebut memang bukan dipersiapkan untuk menjadi guru bimbingan dan konseling. Banyaknya guru-guru yang bukan dari lulusan bimbingan dan konseling menjadi guru bimbingan dan konseling menyebabkan timbulnya anggapan bahwa bimbingan dan konseling bias dilakukan oleh guru apapun.
Guru yang berhak menjadi konselor haruslah memenuhi standar kualifikasi yang ada. Dalam bukunya Daryanto dan Farid mengatakan (2015:106) bahwa,
“Sesuai dengan permendiknas nomor 27 tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor, yang menyatakan bahwa kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal, adalah sarjana pendidikan (S1) dalam bidang bimbingan dan konseling; berpendidikan profesi konselor, kompetensi konselor meliputi paedagogik, kompetensi kepribadian, sosial dan professional yang berjumlah 17 kompetensi dan 76 kompetensi.”[3]
Dengan penetapan standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor diharapkan akan mampu meningkatkan mutu konselor sekolah kedepannya. Dengan adanya standar kualifikasi itu pula dapat menjelaskan bahwa tidak semua orang dapat menjadi guru bimbingan dan konseling. Hanya lulusan dari bimbingan dan konseling yang kompeten yang bias menjadi seorang konselor sekolah. Dengan meningkatnya mutu konselor diharapkan akan meningkat pula mutu pendidikan. Karena pendidikan di sekolah tidak hanya dilakukan melalui proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru mata pelajaran, pelatihan yang dilakukan oleh guru praktik tetapi juga kegiatan konseling yang dilakukan oleh konselor untuk membantu individu dalam mencari dan menetapkan pilihan serta mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kehidupan belajar, perencanaan dan pengembangan karir serta kehidupan keberagaman (DaryantodanFarid, 2015:107).[4]
Menurut Daryanto danFarid (2015:108),
“Melalui layanan konseling yang diberikan oleh guru bimbingan dan konseling akan membantu terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengatasan masalah agar peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.”[5]
Maka dari itu diperlukan guru bimbingan dan konseling yang kompeten untuk dapat memberikan bimbingan dan konseling berupa bantuan kepada peserta didik.
Guru bimbingan dan konseling yang kompeten juga harus menguasai media dalam bimbingan dan konseling untuk dapat menunjang kegiatannya dalam memberikan pelayanan kepada para peserta didik. Menurut Nursalim (2015:5),
“Dalam proses bimbingan dan konseling selalu diawali identifikasi masalah atau tugas perkembangan yang akan dicapai. Selanjutnya akan dirumuskan tujuan yang akan dicapai, dilanjutkan menentukan masalah/materi yang akan dibahas. Agar materi atau masalah yang dibahas itu dapat dipahami oleh siswa yang pada gilirannya masalah siswa terpecahkan atau siswa dapat mencapai tugas perkembangan dengan baik maka dibutuhkan media.”[6]
Dalam bukunya, Nursalim (2015:7) menyebutkan beberapa manfaat media dalam bimbingan dan konseling diantaranya;
“(1) memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis, (2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra. (3) menimbulkan gairah/minat siswa, interaksi lebih langsung antara siswa dengan guru bimbingan dan konseling, (4) member rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama, (5) proses layanan bimbingan dan konseling dapat lebih menarik, (6) proses layanan bimbingan dan konseling menjadi lebih interaktif, (7) kualitas layanan bimbingan dan konseling dapat ditingkatkan, (8) meningkatkan sifat positif siswa terhadap layanan bimbingan dan konseling.”[7]
Musaji dalam Nursalim (2015:9) mengklasifikasikan media bimbingan dan konseling dari bentuk penyajian dan cara penyajiannya sebagai berikut, yaitu;
“(1) kelompok kesatu: grafis, bahan cetak, dan gambar diam; (2) kelompok kedua: media proyeksi diam; (3) kelompok ketiga: media audio; (4) kelompok keempat: media film (motion pictures); (e) kelompok kelima: multimedia. Selain itu, masih ada media yang tidak termasuk media penyaji, yaitu media objek dan media interaktif.”[8]
Guru bimbingan dan konseling yang kompeten diharapkan untuk dapat menguasai media yang ada dalam bimbingan dan konseling seperti yang disebutkan diatas, agar dapat memudahkan dan melancarkan proses pelayanan bimbingan dan konseling dalam mencapai tujuannya yaitu untuk dapat memahami dirinya sendiri dan lingkungannya dan dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri serta untuk mencapai kemandirian peserta didik/siswa.


[1]Prayitno dan Erman Amti, 2013.DASAR-DASAR BIMBINGAN & KONSELING, Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 99.
[2]Ibid, hlm. 105.
[3]Daryanto dan Mohammad Farid, 2015.BIMBINGAN KONSELING: Panduan Guru BK dan Guru Umum, PENERBIT GAVA MEDIA: Yogyakarta, hlm. 106.
[4]Ibid, hlm. 107.
[5]Ibid, hlm. 108.
[6]Mochammad Nursalim, 2015. PENGEMBANGAN MEDIA BIMBINGAN DAN KONSELING, Penerbit Indeks: Jakarta, hlm. 5
[7]Ibid, hlm. 7.
[8]Ibid, hlm. 9.